Entri Populer

Minggu, 28 Oktober 2012

BERINTERAKSI DI BUMI RAFLESIA BENGKULU I N T E R A K S I B U D A Y A

Mungkin kegiatan “home stay” yang sangat efektif untuk seseorang meletakkan diri sebagai objek dalam melakukan aktifitas berinteraksi budaya. Karenanya hal tersebut seseorang akan bertukar tempat dari suatu lingkungan budaya yang lama dengan budaya yang baru saat seseorang ber-homestay. Home stay yang berarti mendiami atau berada di lingkungan keluarga dengan orang-orang lain (baru) merupakan suatu hal yang teramat baik untuk berinteraksi budaya bahkan dalam hal mempelajari suatu budaya baru, jadi tidak hanya bertukar budaya baik secara verbal atau non-verbal, tetapi juga mendapatkan pelajaran baru, entah itu budaya secara keilmuan, moral, norma, atau etos hidup keseharian (kerja). Biasanya home stay adalah perpindahan atau tukar tempat antar Negara, sebab itulah disebut sangat efektif dalam mempelajari interaksi budaya. Bagi seorang mahasiswa sangat mungkin melakukan hal itu dengan cara yang beragam. Misal, kuliah beasiswa ke luar negeri, dan akhirnya tinggal di sana dan mempelajari budaya baru di sana, atau pertukaran pelajar (mahasiswa). Namun, jujur Saya sebagai mahasiswa belum pernah ke luar negeri. Maksimal saya ke luar negeri melalui media cetak dan elektronik (buku dan televisi). Namun bukan berarti Saya atau setiap orang-orang pada umumnya, dan khususnya mahasiswa yang senasib seperti Saya ini tidak mungkin dapat berinteraksi budaya dikarenakan tidak dapat tembus ke luar tanah air. Yang bisa Saya amati dan sedikit pelajari tentang berinteraksi budaya, Saya tertarik dengan tradisi masyarakat kita yang terjadi dan dilakukan pada setiap harinya. Tepatnya setiap menjelang dan setelah tanggal 1 hijriah dalam kalender Islam. Ya, apalagi kalau bukan tradisi meninggalkan kampung halaman beramai-ramai, atau membahana istilahnya disebut sebagai mudik lebaran, atau istilah lainnya adalah pulang kampung. Disini Saya sedikit mencoba mempelajari seraya ingin mampu memahami fenomena tahunan tersebut dari kacamata interaksi budayanya. Yang sedikit Saya lihat dan amati pada fenomena tersebut adalah, bagaimana pulang kampung dapat dijadikan sebagai sarana berinteraksi budaya satu dengan yang satunya selain bersilahturahmi dengan sanak saudara pada umumnya. Saya mengambil peristiwa mudik tersebut karena memiliki hal yang sedikit atau banyaknya dengan home stay pada penjelasan di atas yang sangat memungkinkan interaksi budaya terjadi. Mengapa ? Karena home stay yang pada dasarnya adalah melakukan perpindahan (perjalanan), dan berdiam di suatu tempat yang baru (lain), maka mudik (pulang kampung) pun bisa juga menjadi salah satu cara untuk berinteraksi budaya. Dari sinilah kembali cerita Saya bermulai. Setahun yang lalu pada mudik lebaran tahun 1433 Hijriah, Saya yang berasal asli dari daerah asal kelahiran Saya yaitu Bogor, Jawa Barat, pada tahun tersebut Saya berpulang kampung ke tempat asal desa kelahiran Orang Tua Saya (Ayah) Saya, di desa Curup, Rejang Lebong, provinsi Bengkulu, Sumatera. Di sana direncanakan bila Saya akan menginap di rumah Kakek-Nenek Saya yang Alhamdulillah masih ada selama 5 hari berturut-turut. Setelah menempuh perjalanan dengan menggunakan mobil pribadi serta memalui perjalanan panjang lintas provinsi selama 2 hari 2 malam, Saya pun dengan rombongan keluarga Saya tiba di desa Curup, Bengkulu pada dini hari. Setting rumah dari Orang Tua Ayah Saya merupakan rumah yang masih sangat tradisional. Berlantai kayu, berdinding kayu, beratap kayu, dan berpondasi serta bertiang-tiang kayu. Ya, di tempat tinggal semasa kecil Ayah Saya masih menggunakan rumah adat Bengkulu (rumah panggung). Kedatangan Saya sekaligus kedatangan rombongan keluarga Saya disambut dengan perasaan keluarga disana yang menanti kedatangan kami. Saya pun dalam keadaan setengah mengantuk, mendengar pembicaraan Ayah Saya dengan kakek-nenek Saya mulai menggunakan bahasa daerah setempat (bahasa Rejang). Walaupun mengantuk pembicaraan yang menggunakan nada agak tinggi tersebut membuat Saya mencoba untuk mengartikan arti dari percakapan tersebut walaupun sampai Saya menyerah Saya tidak dapat mengartikannya, meskipun samar-samar, hanya terlihat senyuman mereka saat bertemu. Kedatangan kami yang dini hari sontak membuat kami masih mengantuk, dan tanpa pikir panjang lagi kami pun semua yang baru datang langsung tertidur untuk beristirahat. Namun, selang beberapa jam Saya terlelap tidur, sekitar pukul 02.00 dini hari dari arah dapur terdengar suara-suara orang-orang sedang sibuk memasak. Benar saja, hampir sedikit lupa akibat kelelahan dalam perjalanan, kalau waktu itu masih hari berpuasa pada esok harinya. Dan akhirnya Saya pun tersadar bahwa beberapa keluarga Saya sedang menyiapkan santap sahur untuk berpuasa keesokan harinya. Terbangun pada keesokan harinya disaat matahari belum menderang, beberapa aktifitas di rumah panggung pun semakin ramai. Beberapa keluarga terlihat sudah mondar-mandir sibuk dengan aktifitasnya masing-masing di pagi hari yang masih dingin tersebut. Ada yang bersiap menuju ke kali untuk mandi pagi, ke kebun mencari kayu bakar, dan ada yang bersiap menuju ke kali dengan membawa cucian diember plastik. Dengan keadaan setengah terbangun, Saya pun dihampiri oleh paman Saya, yang biasa Saya panggil dengan sebutan om. Endeng. Kopi hitam sudah ditawarkannya kepada Saya dengan beberapa camilan khas Bengkulu yang sudah disiapkan. I N T E R A K S I B U D A Y A Di hari tersebut Saya mulai menyesuaikan diri sebelum Saya terkena efek dari “culture shock”. Gejala yang sama biasa dialami oleh setiap orang yang menempati suatu tempat baru seperti halnya home stay dan mudik. Culture shock merupakan gejala yang dialami seseorang di awal mendiami tempat baru yang biasanya diringi dengan rasa rindu terhadap rumah yang biasa ditempatinya. Biasanya ada yang bertahan dan tidak sedikit juga yang tidak, dan akhirnya mengalami kebosanan dan keterasingan dengan di tempat baru yang ia diami. Gejala culture shock tidak Saya alami sebab setalah 10 tahun tidak mudik ke Bengkulu, baru Saya kembali ke Kampung Saya ini. Jadi yang ada malah Saya rindu dengan suasana pedesaan yang kental masih terasa tradisionalnya, dan perasaan yang senang yang mengalami batin Saya. Di daerah tempat tinggal Kakek-Nenek Saya di Bengkulu, tidak hanya keluarga dari pihak keluarga Saya yang ramah menyambut kedatangan kami sekelurga dari Bogor melainkan tetangga-tetangga lain disekitar. Ini disebabkan dari pernyataan yang Saya dapat mengenai hal tersebut dari Ayah Saya ternyata jawabannya adalah karena satu dusun di daerah rumah Saya di Bengkulu tersebut adalah masih satu keluarga, jadi tidak heran apabila kedatangan kami disambut hangat dengan tetangga-tetangga lainnya. Selain penyambutan yang hangat dari tetangga-tetangga sekitar rumah, tradisi yang Saya ingat setiap kali Saya kembali ke kampung “Nek-Bi” (sebutan untuk Kakek dalam bahasa Rejang) ini, adalah tradisi memotong kambing, dan dagingnya dibagikan kepada seluruh tetangga sekitar dengan mengundang tetangga untuk turut serta makan di rumah Nek-Bi sebagai ungkapan rasa syukur atas keselamatan di perjalanan hingga tiba di tempat tujuan. Dulu ketika Saya masih duduk di Sekolah Dasar, tradisi ini hingga sekarang masih dijaga dengan cara diterapkan terus-menerus. Keseharian hidup yang ramah dan semuanya adalah para pekerja keras merupakan suatu kebanggan Saya sendiri sebagai anak keturunan dari salah satu desa di Bengkulu. Walaupun kebanyakan dari bahasa mereka saat mencoba berinteraksi dengan Saya tidak Saya pahami namun melalui gesture tubuh dan isyarat membuat Saya mengerti maksud dari pembicaraan dengan bahasa tersebut. Ya, Saya sedikit agak sedih dikarenakan Saya yang mempunyai Orang Tua, Ayah dari Bengkulu, Ibu dari Yogyakarta, dan Saya lahir, besar di Bogor dari ketiga kota tersebut Saya tidak mampu mengusai ketiga bahasa daerah tersebut, dengan sebab yang Saya dan beberapa teman Saya pun mengherankan hal tersebut. Bahasa sebagai alat komunikasi berinteraksi setiap hari yang digunakan oleh semua anggota keluarga Saya di Bengkulu sangat membuat Saya semakin cinta dengan Negara Indonesia dengan keragaman bahasa dan bahasa Indonesia sebagai pemersatunya. Sebagaian anggota keluarga Saya di Bengkulu bisa berbahasa Indonesia, dan keponakan Saya yang masih duduk di bangku SMP, membantu Saya dalam mengerti bahasa Bengkulu di sana, untuk dapat berkomunikasi. Selain bahasanya yang menjadi warisan tak ternilai harganya, dan sebagai warisan Saya ingin memperlajarinya di lain kesempatan yang panjang. Salah satu aksara bahasanya yang dimuat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bahasa Rejang dari Bengkulu, dengan bahsa-bahasa daerah lainnya seperti aksara bahasa dari Yogyakarta dan bahasa Sunda dari tanah Sunda Jawa Barat. Mengetahui hal tersebut, kebanggaan Saya semakin lengkap, karena Saya hidup di tiga kota yang kesemuanya memiliki aksara bahasa, yang Saya juga sangat tertarik mempelajarinya di waktu lain yang panjang. Bahasa, tradisi, dan etos kerja keluarga Saya di Desa Curup Bengkulu membuat Saya kagum. Bahasanya yang suatu hari nanti harus bisa Saya pahami karena Saya adalah salah satu penerus dari keluarga Saya yang memiliki keturunan dari Desa dari provinsi yang dikenal pula dengan bunga Raflesia Arnoldinya. Tradisi, tradisi yang harus Saya dalami makna setiap tradisi yang Saya jumpai setiap kali Saya kembali ke Rumah Panggung tersebut karena Saya akan menjadi pewaris tradisi tersebut kelak. Dan etos kerja yang sangat luar biasa para pekerja kerasnya yang harus Saya teladani selepas Saya bergabung dalam lingkungan dunia kerja, mengingat Ayah Saya yang merantau merupakan suatu kerja keras yang patut diteladani di jaman serba keras dan cepat seperti sekarang ini. Memang cerita yang Saya tulis ini sedemikian rupa sepeti narasi dan lebih berat kepada lintas budanyanya. Namun terdapat pula unsur interaksi budayanya di dalam lintas budaya, itulah mengapa Saya tulis tulisan ini. Masyarakat di Desa Saya khususnya, orang-orangnya berinteraksi dengan siapapun akan selalu ramah. Memang nada-nada dalam setiap pembicaraan mereka agak sedikit tinggi namun itulah kekhasan masyarakat Desa Saya, bukan berarti kasar. Kekentalan bahasa di Desa Saya justru diaksen bahasa Rejang tersebut. Yang Saya artikan melambangkan nafas-nafas kerja keras mereka bersama dengan alam yang masih sangat alami di Desa Saya tersebut. Hal tersebut ditandai dengan aktifitas keseharian yang sangat tradisional dan mengandalkan alam, seperti memasak dengan bahan bakar berupa kayu bakar, mandi di sungai/kali, dan berladang. Yang dapat Saya pelajari selama menetap di sana dalam beberapa hari yaitu, bagaimana kita bisa mempertahankan posisi kita sebagai yang katakanlah asing di suatu lingkungan/tempat lain/baru. Mempertahankan posisi yang Saya maksud di sini adalah beradaptasi. Beradaptasi yaitu berinteraksi dengan semua hal yang bersesuaian dengan tempat di mana kita berada di lingkungan baru tersebut bukan hanya pada bahasa yang digunakannya. Berinteraksi banyak artiannya yaitu dengan mulai mengetahui, menghormati, menghargai, mempelajari, dan mengaplikasikannya. Itulah seidikit cerita mengenai interaksi budaya dari tanah yang mempunyai banyak keramahannya, bumi Raflesia, Bengkulu Indah. ARNZ

Minggu, 21 Oktober 2012

SPOOLASI ALUMNI (i n t e r a k s i b u d a y a)

B aru-baru ini Saya mendapatkan masalah yang cukup melelahkan Saya dalam bagaimana Saya memecahkan masalah tersebut. Kurang lebih sekitar tiga Minggu yang lalu permasalahan Saya tersebut bermulai. Ketika kendaraan sehari-hari Saya yang setiap harinya Saya gunakan dalam berkendara pulang pergi ke kampus mengalami permasalahan pada pengisian listriknya yang menyebabkan seluruh lampu-lampu, starter motor, dan klakson lumpuh. Pada akhirnya selama hampir dua Minggu susah payah Saya mencari suku cadang untuk memperbaiki masalah tersebut dan didapat, Saya pun dapat berkendara kembali ke kampus menggunakan motor Saya tersebut. Saya memang sangat tidak begitu mengenal komponen-komponen apa saja yang ada di tubuh sebuah kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor, atau lebih tepatnya skuter motor Saya. Namun tidak dapat ditolak lagi Saya mau-tidak-mau harus mengetahui sedikit banyaknya mengenai bagian-bagian motor Saya tersebut. Untuk itulah Saya mulai bertanya kepada kakak laki-laki Saya yang punya pengalaman sendiri mengenai motor. Dari situlah Saya dapat mengetahui bahwa permasalahan pada pengisian motor Saya dan sedikit-sedikit Saya pun jadi belajar mengenai isi-isi motor Saya. Dan diketahui bahwa permasalahan pada motor Saya tersebut adalah pada spoolasi motor. Mungkin bagi kebanyakan orang yang mengetahui isi-isi pada motor akan mudah mengetahui permasalahan pada kendaraannya tersebut. Lain halnya dengan Saya yang hanya tau tentang menggunakan, mengendarai, dan merawat motor secara sederhana. Beruntungnya, melalui pengetahuan dari kakak laki-laki Saya tersebut yang menjelaskan dengan secara sederhana mengenai spoolasi motor, ia mendeskripsikan dengan kegiatan sehari-hari yang biasa orang kerjakan. Ia menjelaskan bahwa spoolasi motor tersebut seperti “saat kita madi, apabila bak penampungan air dalam kamar mandi digunakan tanpa diisi, maka air di dalam penampungan air tersebut akan habis. Akan tetapi lain ceritanya apabila saat kita mandi keran air tetap menyala, maka walaupun kita mandi air di dalam penampungan air tidak akan habis karena air terus terisi saat kita mandi.” Begitulah bagaimana Saya tau tentang cara kerja alat spoolasi motor tersebut. Spoolasi memberikan suplai listrik kepada aki yang dilambangkan pada analogi di atas sebagai penampungan air, sedangkan spool sebagai keran air yang menyala, jadi apabila spool tidak berfungsi maka aki pun akan lumpuh, dan menyebabkan pelistrikan pada motor mati. Memikirkan hal tersebut, Saya pun kembali menggunakan prinsip cara kerja spool motor tersebut dalam kehidupan berinteraksi Saya dalam organisasi di kampus yang Saya ikuti. Sebagai aktifis organisasi di kampus, Saya mempunyai suatu beban moral untuk belajar lebih dari Saya sebagai mahasiswa saja. Karena hal tersebutlah Saya mau-tidak-mau mencari tahu dan belajar lebih dalam mengatasi permasalahan yang ada pada organisasi. Setahun Saya mengikuti kegiatan yang ada pada organisasi kampus yang Saya ikuti, tidak dapat dipungkiri permasalahan yang ada pada tubuh organisasi sangat rumit, dan terkadang terjadi situasi yang saling silih tegang. Namun pada akhirnya dapat dipecahkan dengan kepala dingin dan bersolusi. Salah satu cara yang Saya gunakan dalam memecahkan permasalahan yang ada di dalam organisasi yaitu dengan bertanya dan bertanya selain berdasarkan dengan landasan-landasan organisasi yang ada. Sosok yang Saya tanyakan adalah alumni-alumni. Alasan Saya memilih alumni untuk mendapatkan saran, masukan, dan solusi dalam memecahkan masalah yang ada pada organisasi dikarenakan sebagai alumni di mind set Saya beranggapan bahwa mereka lebih luas dan lebih banyak pengalamannya pada saat-saat mereka ada di posisi yang sama seperti Saya saat ada masalah pada organisasi dan harus dipecahkan. Sebenarnya ada pembina dan penasihat pada suatu organisasi yang dapat ditanyai untuk memecahkan suatu masalah yang ada pada di organisasi yang Saya masih ikuti sampai sekarang ini. Namun waktu yang Saya harus atur untuk bertanya dan sikap serta keterbatasan dalam penyampaian masalah-masalah yang ada haruslah formal. Beda dengan alumni yang Saya bisa dengan secara informal bertemu disuatu tempat dan sangat flexible dalam masalah waktu untuk memperbincangkan masalah tersebut. Menganalogikannya dengan prinsip spool pada motor, maka alumni pun bisa disamakan seperti spool bagi Saya. Kenapa ? karena melalui alumni-alumni Saya bisa dapat mendapatkan banyak ilmu, saran, masukan, dan tawaran-tawran solusi yang mereka berikan sebagai cara Saya dalam memecahkan permasalahan dalam tubuh organisasi secara tak henti-henti, lebih banyak, dan yang terpenting ilmu bagi Saya sendiri. Bagi Saya, Saya menganalogikan diri sendiri sebagai aki pada motor, dimana Saya menampung berbagai saran-saran, masukan-masukan dan ilmu-ilmu dari pengalaman alumni yang lalu yang memungkinkan Saya dengan efisien dalam memecahkan permasalahan yang ada. Namun Saya pun selalu melihat pada sisi positif dan negatif dari hal tersebut, karena Saya pun harus selektif dalam menerima aliran listrik yang dilambangkan sebagai saran-saran dan lain-lain tersebut dalam memecahkan permasalahan yang ada. Seperti permasalahan yang belum lama terjadi pada organisasi Saya ini yaitu permasalahan mengenai status kenaggotaan. Dimana ada beberapa anggota yang merasa dirinya pernah terdaftar sebagai anggota, namun ada beberapa pula anggota yang memang sudah kukuh sebagai anggota menganggap beberapa anggota tersebut belumlah kukuh sebagai anggota. Setelah itu terjadilah ketegangan mengenai hal tersebut. Parahnya ketegangan tersebut diluapkan oleh anggota yang tidak terima tersebut akan statusnya yang dianggap oleh beberapa anggota bahwa mereka belum kukuh lewat jejaring sosial twitter. Bukannya menyampaikan ketidakterimaan anggota tersebut yang dapat dikatakan sakit hati dengan etiket yang ada dalam bersosial media dengan media sosial elektronik maya dengan santun, parahnya sebaliknya, mereka melakukannya dengan cara menegatifkan. Tanpa disadari dengan sifat jejaring sosial tersebut yang tidak dapat dikontrol bagi penggunanya dan akses yang mudah, hal tersebut diketahui oleh alumni. Alumni yang mengetahui bahwa pada jejearing sosial tersebut bukan hanya anggota-anggota organisasi ini yang ada, namun banyak orang-orang lain bahkan orang-orang dari organisasi kampus yang sama merasa resah akan jatuhnya nama baik organisasi. Yang memperparah keadaan menjadi lebih parah, anggota-anggota tersebut membawa nama organisasi yang dinegatifkannya. Hal tersebutlah yang membuat semua anggota dan alumni tambah resah dan tidak mungkin terjadi kemarahan. Untuk menegahi hal tersebut, maka Saya mengambil langkah awal dengan menyampaikan masalah tersebut ke alumni yang Saya mempunyai anggapan bahwa alumni mempunyai segudang pengalaman dengan permasalahan yang pernah ada pada organisasi, meskipun masalah tersebut baru pertama. Hanya dengan bertemu di sebuah warung kopi, alumni yang rata-rata sudah bekerja dapat ditemui pada jam-jam malam. Suatu kekurangan yang Saya harus korbankan untuk dapat meluangkan waktu lebih lama dari biasanya untuk mendapatkan saran untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan membagikan keilmuannya berdasarkan pengalaman yang pernah dialami oleh alumni-alumni saat mengahadapi dan menyelesaikan permasalahan yang ada, maka spoolasi alumni pun berjalan. Sebagai “akinya” Saya hanya perlu selektif untuk menerima saran-saran dan masukan-masukan untuk akhirnya Saya bisa menemukan solusi yang baik dan memecahkan masalah tersebut. Bersama dengan anggota-anggota lain, Saya memusyawarahkan masalah tersebut dengan apa yang telah Saya pelajari dari alumni. Hasil dari keputusannya adalah dengan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan memanggil anggota tersebut untuk selanjutnya diproses berdasarkan keputusan yang diambil secara mufakat berasaskan landasan-landasan dan peraturan-peraturan organisasi yang ada dalam memperkuat organisasi. Alumni sebagai anggota yang telah lulus terlebih dahulu yang membawa segenap banyak kenangan dalam memecahkan permasalah yang ada pada organisasi saat mereka berorganisasi, dapat menjadi tempat yang paling efektif dalan mencari saran-saran bagi anggota yang sekarang seperti halnya seperti Saya. Bagi Saya alumni sebagai spool dan spoolasi dalam mentransfer ilmu tentang organisasi yang masih Saya ikuti sampai sekarang. Dan bagi Saya juga, setelah lulusnya Saya dari organisasi yang Saya ikuti yang berarti lulusnya juga Saya dari kampus Saya, Saya pun akan memposisikan diri Saya nanti sebagai alumni sebagai spool motor dan spoolasi kepada anggota yang nanti mencari seputar saran-saran, masukan-masukan, dan solusi-solusi dalam memecahkan permasalahan yang ada nantinya. Karena permasalahan tidak ada hentinya. Pentingnya roda perputaran dalam mentransfer pengalaman yang sudah dienyam oleh alumni-alumni kepada seluruh anggota-anggota sama pentingnya seperti penyaluran listrik oleh spool motor kepada aki dan kepada seluruh komponen pelistrikan yang ada di motor. Namun meskipun demikian haruslah mencari “aki” (anggota) yang dapat selektif menerima spoolasi saran-saran dari alumni. Hubungannya dengan interaksi budaya pada hal ini adalah transfer pengalaman yang diberikan oleh alumni merupakan suatu bentuk saling aksi budaya pengalaman dari pengalaman dulu yang dipilih secara selektif dan relevan dengan permasalahan yang sekarang. Dengan demikian proses interaksi budaya yang terpisah waktu terjadi, hanya saja kita perlu melakukan seleksi terhadap hal-hal yang relevan untuk digunakan pada saat ini sehingga permasalahan dipecahkan secara kekinian.arnz