Entri Populer

Minggu, 06 Januari 2013

DEGRADASI BUDAYA BERMORAL I N T E R A K S I B U D A Y A Kebiasaan yang kerap kali menjadi peraturan diri sendiri untuk setiap orang bisa berarti bermacam-macam. Namun pada kebanyakannya hanya dua kemungkinan arah hasil dari kebiasaan tersebut yaitu, menjadi sesuatu hal yang negatif dan atau bisa juga menjadi sesuatu hal yang positif. Akan tetapi selama yang pernah dialami kebanyakan orang hal tersebut hanya berubah menjadi sesuatu hal yang positif bagi dirinya sendiri sebab itu merupakan hal yang biasa untuknya. Namun akan negatif apabila penerapannya untuk kolektif atau bukan untuk dirinya sendiri. Berkaca dari fenomena selepas libur pergantian tahun atau perkuliahan selepas Ujian Tengah Semester (UTS) di kampus Saya, benar saja sigma kehadiran mahasiswa di kelas anjlok ketimbang saat UTS atau sebelum libur tahun baru. Hal ini sudah terjadi selama lebih dari tiga tahun Saya menempuh penididikan di kampus. Kebiasaan yang selalu terulang dan diulang setiap tahunnya dan bisa menjadi sebuah budaya bagi mayoritas mahasiswa untuk berjamaah melepas moralnya sebagai mahasiswa yang dituntut untuk hadir saat jadwal perkuliahan sesuai dengan waktunya. Kebiasaan ketidakhadiran atau keterlambatan mahasiswa akibat kebiasaan fenomena di atas sebenarnya maklum apabila kerap terjadi setiap tahunnya apabila mempunyai batasan moral jika juga saja mahasiswa sadar akan tanggung jawabnya. Namun hal tersebut justru terbalik hampir 360 derajat, malah hal tersebut dijadikan mahasiswa yang sudah senior sebagai turunan budaya yang diinteraksikan kepada mahasiswa-mahasiswa junior untuk melestarikan budaya malas masuk kuliah setelah libur atau selepas UTS. Inilah yang dimaksud dengan mal-fungsi interaksi budaya, atau dengan kata lain adalah turunan budaya yang negatif. Dan kebiasaan akan hal ini hanya menghasilkan stigma yang negatif tentunya bagi moral setiap mahasiswa yang mempunyai kewajiban untuk datang saat jadwal kuliah yang sudah ditetapkan jurusannya masing-masing. Dan juga tentu saja akreditasi kampus, jurusan, dan mahasiswa-mahasiswa tersebut yang memandangnya akan mengapresiasi tidak baik, dan lebih parah sebab saran tersebut hanya bebel bagi mahasiswa untuk kembali untuk tidak merubah kebiasaan buruk itu. Menengok ke arah kegiatan mahasiswa yang positif dan masih di bawah naungan kampus di luar kelas yang pada umumnya disenangi oleh mahasiswa, yaitu kegiatan ekstrakulikuler mahasiswa dalam format Organisasi Mahasiswa (ORMAWA) apapun kawasan kegiatannya. Kalau kita hanya menengok dari kulitnya saja, kita melihat mahasiswa-mahasiswa tersebut yang dengan seragam kebanggaan ORMAWA mereka masing-masing sangat giat saat melangsungkan suatu kegiatan. Kekompakan terlihat dan teamwork seolah berjalan sempurna sehingga suatu kegiatan positif mendapat apresiasi yang sangat positif bagi warga di lingkungan kampus pada umumnya. Hal tersebut ada benarnya. Namun apabila kita dapat menengok ke dalam, mahasiswa-mahasiswa yang terlihat sangat menguasai tanggung jawabnya sebagai bagian dari ORMAWA kampus dalam melangsungkan sebuah acara/kegiatan, pada saat pra-kegiatan dan pasca-kegiatan, meraka belumlah tentu seapik saat mereka di kegiatannya. Mengapa? Hal ini disebabkan lagi-lagi akan moral mereka sebagai pribadi yang tidak memperhatikan kedisiplinan yang sama halnya seperti mahasiswa yang menghadapi UTS. Mereka tidak disiplin saat pra-UTS dan pasca-UTS yang menyebabkan budaya mereka budaya instant untuk dalam menghadapi UTS dan setelah UTS. Menengok kegiatan ekstrakulikuler yang Saya ikuti di kampus Saya, Saya sangat merasakan kedua perbandingan di atas yang memiliki kesamaan yang tidak ada bedanya alias sama saja. Sebagai contoh yang ingin Saya tulis dalam tulisan ini adalah saat akan melangsungkan sebuah acara. Kebiasaan selalu sama setiap suatu acar akan dilangsungkan. Selama dua tahun Saya berorganisasi di ORMAWA ini, kasusnya selalu sama. Yaitu masalah akan kedisiplinan dan tanggung jawab moral. Pada dasarnya kegiatan-kegiatan yang selalu dilaksanakan pada ORMAWA yang Saya ikuti ini memiliki tiga tahapan secara umum untuk menyuskeskan suatu acara berdasarkan pengamatan Saya secara langsung. Yang pertama adalah tahapan pra-kegiatan. Pada tahapan ini dimana kedisiplinan sangat-sangat dibutuhkan bagi setiap sektornya/seksi. Karena di tahapan ini semua yang terlibat dalam kegiatan dibutuhkan kehadirannya untuk membahas hal-hal yang sifatnya baik non-tekhnis dan tekhnis saat kegiatan berlangsung yang dilaksanakan dengan format formal yaitu rapat. Namun pada tahapan ini hal tersebut sangat jauh dari kata kompak. Tahapan selanjutnya setalah pra-kegiatan adalan kegiatan. Dimana segala sesuatu yang sifatnya administratif atau hal non-tekhnis telah berlangsung dan tiba saatnya kekompakan tim penyelenggara acara dibutuhkan. Dan fenomena terjadi pada tahapan ini. Yaitu ketidakkekompakan saat tahapan pra-produksi lenyap begitu saja, prilaku-prilaku ego lenyap di setiap diri masing-masing. Dan alhasil sukses acara dan apresiasi yang didapat bernilai positif. Namun disinilah tahap yang mengagetkan setelah tahapan kegiatan berlangsung. Yaitu kegiatan yang seharusnya sangat-sangat harus mendapat suatu perhatian yang sangat lebih setelah kegiatan bubar, karena tahapan ini merupakan evaluasi untuk menatap proses kegiatan-kegiatan selanjutnya yang lebih baik dan matang. Mungkin sebuah alasan terucap yaitu; “Kita sudah sukses!” Hal tersebut sangatlah sangat-sangat salah kaprah. Sebab pada saat evaluasi saat itulah penilaian yang sebenarnya apakah suatu kegiatan tersebut baik tau tidak karena semua sisi akan mendapat dinilai. Tahapan inilah yang sangat parah. Saat kegiatan pasca-kegiatan yang tertuang dalam rapat evalusi kebanyakan panitia acara bubar sebubarnya acara pula. Inilah masalah yang terus terulang. Sehingga suatu kegiatan hanya lewat begitu saja. Dari kedua perbandingan yang berbanding lurus di atas, Saya menyimpulkan bahwa ini merupakan suatu budaya dari setiap pribadi yang salah mengfungsikan kedisiplinan dan moran serta tanggung jawab bagi mereka sendiri bukan untuk orang lain. Dalam berkehidupan menjalankan diri sebagai titel mahasiswa, mahasiswa harus disiplin belajar, ujian dan evaluasi. Dan dalam berkehidupan menjalankan diri sebaga titel aktivis organisasi kampus, mahasiswa harus disiplin berkegiatan, berkegiatan dan evaluasi. Keduanya mempunyai proses yang sama, dan secara pengamatan Saya keduanya selalu bermasalah pada tahapan proses yang sama. Yaitu saat setelah ujian terlaksana. Sebuah kegagalan atau mal-fungsi dari sikap setiap individu yang membiarkan dirinya lepas tanggung jawabnya sesaat setelah melewati suatu hal yang dianggap tanggung jawabnya sudah selesai. Seperti mahasiswa setelah UTS yah selesai, dan seperti mahasiswa aktivis kampus setalah berkegiatan yah selesai tanggung jawabnya dan bubar sebubarnya acara. Kegua hal tersebut sangatlah jauh dari kata bermoral. Searusnya setalah melampaui suatu hal yang akan menjadi hal pembelajaran di masa yang akan datang, apabila kita ingin memiliki moral yang bertanggung jawab dan disiplin dikemudian hari, hendaknya kita menanamkan budaya moral yang tinggi kepada diri kita masing-masing supaya tanggung jawab moral dengan apa yang telah kita lakukan terpenuhi dan akan selalu menjadi pembelajaran yang positif dan menginteraksikan budaya diri kita yang mempunyai moral itu terhadap lingkungan sekitar kiat, dan berdoa akan membuat suatu peradaban atau perubahan yang baik, positif, dan tentunya yang bermoral. Arnz